pemesanan hubungi
damus_86@yahoo.com
dani.mustopa.damus86@gmail.com
+6285222245665
+622292365999
Jaminan Ekonomi Vs. Tuntutan Ukhrowi |
Saturday, 19 December 2009 20:09 |
"USAHAMU SUNGGUH-SUNGGUHMU DALAM PERKARA YANG BAGIMU SUDAH ADA JAMINAN, DAN KELALAIANMU DALAM PERKARA YANG DI PERINTAHKAN, ITU MENUNJUKKAN TERHAPUSNYA MATA HATI KAMU". Salah satu perkara yang sudah mendapat jaminan langsung dari Allah bagi hamba Nya adalah masalah rizqi (harta benda), kita akui dengan harta manusia bisa menopang kelangsungan hidup di alam dunia ini. Begitu besar arti dan fungsi materi dan harta (rizqi), namun ada yang lebih besar lagi! dari itu semua, yaitu tanggung jawab Allah SWT Sang Pencipta makhluk untuk menjamin segala kebutuhan dari makhluk tidak manusia saja, melainkan seluruh makhluk ini mulai nabi Adam as. sampai entah kapan nanti yang terakhir di cukupi Nya. Sungguh luar biasa Allah SWT mencukupi semuanya tanpa campur tangan atau bantuan sedikitpun dari siapapun, yang menarik lagi begitu besar kasih sayang Dzat Yang Maha Pemurah, Penyayang ini! Saking besarnya perhatian Allah sehingga tidak pernah memerintah manusia harus berusaha maximal dalam mencari dan memikirkan rizqi, perkembangan ekonomi materi dan harta. Allah SWT hanya memerintah hamba Nya untuk bersyukur, taat, beribadat dan beramal sholih agar mereka bisa mendapatkan nilai keberuntungan, kesejahteraan dalam kehidupan akhirat (bukan di dunia saja), dan bisa dekat di sanding Allah SWT, ternyata kasih sayang dan perhatian Beliau tidak sebatas di dunia saja, di akhirat kelakpun Dia perhitungkan jauh-jauh sebelum makhluk di ciptakan. di antaranya arti keberadaan amal baik merupakan sesuatu yang di perintahkan kepada hamba Nya adalah, manusia di bebani untuk beramal ibadat dengan memenuhi segala persyaratan dan sabab-sabab amal, melakukan tepat pada waktunya. Dengan semua inilah perjalanan sunnatullah dari hamba Nya bisa nampak dan betul-betul terasa. Di riwayatkan dalam Sebuah hadist Nabi sesungguhnya Allah SWT bersabda: "Wahai hambaku! Taatlah kamu pada Ku dalam segala hal yang Aku perintahkan kepadamu, dan janganlah sesekali kamu tunjukkan pada Ku suatu amal baikmu. Di sebutkan dalam Hadist yang lain : "Di riwayatkan dari Rosulullah SAW. Sungguh beliau bersabda: bagaimana keadaan beberapa qaum..? yang selalu menghormati orang-orang yang hidup enak dan mewah, selalu meremehkan orang-orang yang ahli beribadat. Mereka mengamalkan Al-qur'an, dengan separoh paroh perkara-perkara yang cocok dengan kesenangan mereka saja, dan mereka tinggalkan segala perkara yang bertentangan dengan hawa kesenangannya. Pada saat itulah mereka imankan sebagian Al-qur'an dan mengkufurkan sebagian yang lain. Mereka berjerih payah bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang bisa di raih tanpa usaha apapun, yaitu taqdir yang sudah di gariskan, 'ajal yang sudah di pastikan (waktunya) dan rizqi ekonomi yang sudah di bagi ratakan. Anehnya mereka malah enggan berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang sulit di capai kecuali dengan berusaha penuh, yaitu balasan amal yang sampurna, jerih payah amal yang di terima, dan perdagangan menguntungkan yang tidak pernah rusak. Ibrahim al-khouwas pernah berkata: segala macam ilmu tersimpan dalam dua kalimat yaitu,
Siapapun orangnya yang sanggup melakukan perintah ini atas aturan yang sudah aku sebutkan, dan sanggup mengosongkan hati dari segala sesuatu yang sudah terjamin, maka niscaya terkuak mata hatinya, bersinar terang penuh dengan Nur al-Haq, dan kemudian bisa mendapatkan segala apa yang di kehendakinya. Dan begitu pula sebaliknya! barang siapa memutar balikkan perintah ini maka dari dirinya terhapus mata hatinya, buta hatinya dan akan muncul bentuk-bentuk perbuatan (jelek dan hina) sebagai tanda kegelapan hatinya. Sebagaimana mata merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk melihat segala sesuatu yang dhohir dan terjangkau, dimana kornea adalah yang berperan, hatipun sama! mempunya organ yang berfungsi untuk melihat segala hal batin dan segala macam perbuatan ukhrowiyah. Organ ini dinamakan basiiroh, namun basiiroh jauh lebih waspada dibanding kornea karena mampu mencermati akhir kesudahan suatu perbuatan bagus, hanya orang-orang bertaqwa "muttaqiin" yang mampu merasakanya. Dengan demikian "TAQWA" merupakan kewajiban dan solusi utama atas hamba untuk bisa menemukan al_basiiroh. Dengan TAQWA manusia siap tertuntut dengan bersungguh-sungguh selalu dalam mereyalisasikan arti amal dan ibadat, tidak berlambat-lambat dan berusaha meminimilisir segala penghabat yang mencegah laju TAQWA. Kembali kepada pokok masalah, kata al-ijtihad yang tertera di judul merupakan kata yang menunjukkan : sesungguhnya bekerja mencari rizqi tanpa dengan usaha maximal dan rasa kesungguhan, bukanlah yang di kehendaki dengan uraian kalam ini. Karena mencari rizqi hukumnya Mubach, diperbolehkan dalam rangka pengembangan ekonomi. Maka dengan mencari rizqi tidak bisa disimpulkan kalo sudah terhapusnya mata hati pemilik harta. kecuali ketika saat bersma dengan pencarian rizqi timbul tindak penyelewengan terhadap kewajiban yang diperintahkan kepadanya |
Niat Dalam Islam dan Tujuan Syari'at |
Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dua kalimat yang sangat dalam maknanya, yaitu, sesungguhnya amal-amal bergantung kepada niat dan seseorang memperoleh apa yang diniatkan. Dalam kalimat pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, amal tidak ada artinya tanpa ada niat. Sedangkan dalam kalimat kedua, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, orang yang melakukan suatu amal, ia tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup iman, ibadah, da’wah, muamalah, nadzar, jihad, perjanjian dan tindakan apapun. Pengaruh niat dalam sah atau tidaknya suatu ibadah sudah dijelaskan di atas. Semua amal qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Allah) harus dilandaskan kepada niat. Suatu tindakan tidak dikatakan ibadah, kecuali disertai niat dan tujuan. Maka dari itu, sekalipun seseorang menceburkan diri ke dalam air tanpa niat mandi, atau masuk kamar mandi semata untuk membersihkan diri, atau sekedar menyegarkan badan, maka perbuatan itu tidak termasuk amal qurbah dan ibadah. Contoh lain, ada seseorang tidak makan sehari penuh karena tidak ada makanan, atau karena pantang makan, atau karena akan dioperasi, maka ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa. Contoh lain, seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh, atau mencari saudaranya yang hilang, maka orang tersebut tidak dikatakan melakukan thawaf yang disyariatkan. Imam Nawawi menjelaskan, niat itu disyariatkan untuk beberapa hal berikut. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya duduk di masjid, ada yang berniat istirahat, ada pula yang tujuannya untuk i’tikaf. Mandi dengan niat mandi junub, berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk membersihkan diri. Yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini, ketika seorang laki-laki yang berperang karena riya (ingin dilihat orang), karena fanatisme golongan, dan berperang karena keberanian. Siapakah yang berperang di jalan Allah? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Barangsiapa berperang dengan tujuan agar kalimat Allah adalah yang paling tinggi, maka itulah fi sabilillah". (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Ilmi no. 123 (Fat-hul Baari I/222) dan Muslim Kitabul Imarah no. 1904, Tirmidzi no. 1646, Abu Dawud no. 2517, Ibnu Majah no. 2783 dan an-Nasaa-I VI/23 dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari) Kedua, untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain. Misalnya seseorang mengerjakan shalat empat rakaat. Apakah diniatkan shalat Dhuhur ataukah shalat sunnat (ataukah diniatkan untuk shalat Ashar)? Yang membedakannya adalah niat. Demikian juga dengan orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar kafarah (tebusan), ataukah ia niatkan untuk nadzar, atau yang lainnya? Jadi yang penting, untuk membedakan dua ibadah yang sama adalah niat. (Syarah Arba’in oleh Imam Nawawi hal. 8). Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan firman Allah, terkadang dengan makna iradah, dan terkadang dengan makna qashd dan sejenisnya. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 152, surat Al Isra` ayat 18-19.(Wa Allahu A'lam) |